Theresults of the novel analysis Menunggu Beduk Berbunyi (1950) were used for the Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Ketimpangan sosial di Minangkabau memicu keprihatian Hamka. Hamka melancar-kan kritik-kritik sosial dalam novel-novelnya itu, terutama kritik terhadap sistem sosial
Through his literary work in the form of a novel, Buya Hamka contributed to advancing the education in Indonesia by contributing to his critical thoughts in the novel entitled “The Singking of Van Der Wijck”. The Researcher wants to carry out this research to find out and analyze what character education is contained in the novel “The Singking of Van Der Wijck”. The research method used in this research is descriptive qualitative method, which aims to describe, summarize, phenomena, and situations of social reality that occur in society. Through this method the researcher tries to observe and understand the object of research with the aim and obtaining the meaning of each words, text, sentence and paragraph. The result of this study indicate that Buya Hamka has succeeded in contributing knowledge intelligently and critically inserted into every word, text, sentence and paragraph contained in the novel “The Singking of Van Der Wijck”. It makes the readers have a devout and pious personality and know the values of character education, especially the educational values of teaching Islamic Religious Education. Abstrak. Melalui karya sastra yang berbentuk novel, Buya Hamka, turut berkontribusi dalam memajukan bidang pendidikan di Indonesia. Dengan turut membantu menyumbangkan pemikiran-pemikiran kritisnya dalam novel yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Maka dari itu peneliti ingin mengangkat penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis pendidikan karakter apa saja yang terkandung dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan, fenomena dan situasi realita sosial yang terjadi di masyarakat. Melalui metode ini peneliti berusaha mengamati dan memahami objek penelitian dengan tujuan untuk memperoleh dan mendapatkan makna, arti dari setiap kata, teks, kalimat dan paragraf. Hasil penelitian ini menunjukan bahwasannya, Buya Hamka berhasil memberikan sumbangsih ilmu-ilmu pengetahuan yang dengan cerdas dan kritis disisipkan kedalam setiap kata, teks, kalimat dan paragraf yang terdapat dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Sehingga menjadikan pembacanya memiliki pribadi yang taat dan bertakwa serta mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter terutama nilai-nilai pendidikan pada ajaran agama Islam. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this AlifuddinAlhamuddin AlhamuddinNurjannah NurjannahThis article provided an anlytical description of the Muhammadiyah philanthropic movement to the Bajo community in Wakatobi. There were three important points hacked in this study, namely 1. Why did Muhammadiyah choose the domain of education for its philatropical movement in the Bajo community? 2. what was the pattern of Muhammadiyah's educational philanthropic movement in the Bajo community? 3. what was the Bajo community's response to the Muhammadiyah-based pure Islamic education philanthropy movement? Data collection was done through in-depth interviews, observation and documentation. Analyzing data used hermeneutic phenomenology approach. The results showed that the choice of moving in the realm of education by the local Muhammadiyah community was due to the essence of the education movement as a fulcrum for determining the quality of human resources, on the other hand expensive quality education services made most Bajo children to choose to go to sea rather than go to school. The choice of educational philanthrophy by Muhammadiyah was also due to the psycho-social reality of local children who were suspected of "experiencing" an inferiority complex when they interacted with the mainland children's community. The philanthropic movement pattern implemented by the local Muhammadiyah community was based on the philanthropic social movement, namely to form awareness of the local community about the urgency of education for future life continuity by relying on a belief system or religious basis. The smart work of the Muhammadiyah community combined with the positive action approach made the pure Islamic idea could be transformed into the Bajo cultural space through education and teaching in a natural humanistic manner, without causing controversy. Keywords Educational Philanthrophy, Bajo Community, Educational Philanthrophy Movement Alhamuddin AlhamuddinThis study aims to examine how to instruction design to optimize the potential of learners. The result of study showed that the design instruction to optimize the learners needs to do several steps, namely 1 multiple intelligences research; 2 mapping class based on learning style. Furthermore, teachers prepare learning design based on both aspects. Teacher consultation with the supervisor in preparing instructional design based on multiple intelligences, in consultation teacher discusses basic competencies to be taught and strategies in accordance with the tendency of learners in the classroom. The next phase is the observation supervisor in the classroom and the last step is the confirmation. Based on the results of this study, the researchers recommend to teachers to always pay attention and develop the potential that exists within the self-learners early on. Intelligence is not just limited to the intelligence of mathematical logic and language, but also kinesthetic, music, interpersonal, intrapersonal, spatial, and naturalistic intelligence. Pendahuluan Pendidikan dasar merupakan cikal bakal pendidikan yang akan banyak menentukan kualitas pendidikan pada jenjang berikutnya. Keberhasilan menangani masalah pendidikan dasar merupakan langkah strategis untuk membenahi sistem pendidikan pada level selanjutnya dan pada giliranya akan menyentuh sistem pendidikan nasional. Mengingat perannya yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka upaya peningkatan kualitas pembelajaran pada tingkat pendidikan dasar, memerlukan perhatian yang serius. Dekade 1980an, Gardner merumuskan konsep kecerdasan dari hanya terbatas pada yang cerdas logika matematika dan bahasa menjadi musik, kinestetis, intrapersonal, interpersonal, spasial, dan naturalistik. Adanya pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan individu, tentu akan membawa konsekuensi lebih lanjut, yaitu bahwa pendidikan harus memperhatikan perbedaan-perbedaan dan mengembangkan sejauh mungkin apa yang dimiliki anak itu. Dengan Alhamuddin AlhamuddinThis study aims to describe the curriculum development at elementary school in Russian and Indonesia. This study shows that there are many differences between both countries. Curriculum structure of the basic education in the Russian State has more hours per week than Indonesia's does, but in a year of study time in Russia is shorter than in Indonesia is. Assessment System in Russia learning outcomes serve as the basis of the information to determine the competence of which has been obtained by the learners, not as a measure for grouping students into groups. It is not much different in Indonesia. Pendahuluan Secara umum, hakekat pendidikan diartikan sebagai upaya mengembangkan kualitas pribadi manusia dan membangun karakter bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai agama, filsafat, psikologi, sosial budaya, dan iptek yang bermuara pada pembentukan pribadi manusia bermoral dan berakhlak mulia dan berbudi luhur. Pendidikan diartikan juga sebagai upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia SDM yang memiliki idealisme nasional dan keunggulan profesional,serta kompetensi yang dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan Negara. Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan. Dengan sistem pendidikan tersebut, suatu bangsa mampu mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, keterampilan dan sikap, agama dan ciri-ciri watak khusus yang dimilikinya dengan cara tertentu kepada generasi penerus, agar nantinya, mereka dapat mewariskannya dengan sebaik-baiknya. Melalui sitem pendidikan itu, suatu bangsa dapat memelihara dan mempertahankan nilai-nilai luhur, serta keunggulan-keunggulan mereka dari generasi ke generasi. Sejalan dengan tumbuhnya ilmu-ilmu sosial pada akhir abad 19 yang dalam perkembangan pesatnya kemudian tertuju perhatiannya pada pengakuan adanya hubungan yang dinamis antara pendidikan dengan masyarakat atau negara tertentu. Pendidikan dipandang sebagai cerminan dari suatu masyarakat atau bangsa, dan sebaliknya suatu masyarakat atau bangsa dibentuk oleh sistem pendidikannya. Alhamuddin Alhamuddinp>This paper is an academic effort to explain some aspects of the concept of Islamic education thought Syaikh Abd al-Samad Palimbani 1714-1782 M. As a descriptive qualitative study, the main data in this study were obtained from a number of his works, especially from kitab Hidayah al-Sālikin . It’s contrast to the others previous scholars’ contemporaries, Hidayah al-Sālikin is unique work of Abd Shamad, especially in his approach. In these works Abd Shamad attempted to explain jurisprudent aspects using Sufism approach. This research analyses some aspects of Abd Shamad’s concept of Islamic education thoughts. According to him, Islamic education aims are to produce a good human being and to achieve happiness by getting close to God. Based on the conducted research, some recommendations for further researcher, it is suggested to investigate this issue more specifically and comprehensively.KelemahanNovel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Pada jaman dahulu novel sinopsis tenggelamnya kapal van der wijck ini sempat mendapat tentangan dari kalangan agama. Jadi mereka menyangka bahwa novel yang dibuat tersebut menyalahi kebiasaan-kebiasaan yang ada pada saat itu. Namun setelah 10 tahun berlalu, justru novel tersebutBAB I PENDAHULUAN Perkembangan budaya tidak dapat dipungkiri ikut mempengaruhi penulisan karya sastra di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dahulu sangat patuh akan tradisi kini sudah mulai terbuka akan hal-hal baru. Hal ini ditandai dengan banyaknya karya sastra yang menceritakan gaya hidup modern, bahkan tak sedikit karya sastra bahasa asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Maraknya karya sastra yang menceritakan gaya hidup kebarat-baratan, berseting di luar negeri, atau merupakan terjemahan dari karya sastra luar negeri lama kelamaan dapat mel rasa cinta dan pengetahuan bangsa Indonesia akan budayanya sendiri. Karya-karya sastra Indonesia pada zaman dulu sebenarnya merupakan karya yang sangat indah dan mengandung nilai-nilai budaya dan kehidupan yang bisa kita pelajari. Salah satunya adalah Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Novel ini merupakan novel terbitan tahun 1939 yang kisahnya tak lekang dimakan zaman. Dalam tulisan ini mencakup identitas novel, unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, serta kelemahan dan kelebihan dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah Memenuhi penugasan yang diberikan dalam pelajaran Bahasa Indonesia Melaporkan tanggapan dan analisis terhadap karya sastra. Memberikan Informasi seputar Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pada pembaca. Sedangkan manfaat laporan ini diantaranya Meningkatkan rasa cinta terhadap karya sastra lama Memperkenalkan kembali karya sastra lama agar tak mudah dilupakan Mengetahui kehidupan dan budaya bangsa Indonesia pada zaman dulu. BAB II Isi Judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Penulis Haji Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA Penerbit Balai Pustaka Genre Romance Tahun terbit Jakarta, 1939 Jumlah halaman 236 Halaman ISBN 979-418-055-6 Zainuddin, seorang pemuda yang tinggal di Makasar pergi berkelana ke kampung halaman ayahnya di Padang . Di sana ia tak diakui sebagai orang Padang karana menurut hukum adat, garis keturunan yang kuat berasal dari pihak ibu, sedangkan ibu Zainuddin adalah orang Makasar. Zainuddin jatuh cinta pada Hayati, seorang gadis desa yang cantik dan berasal dari keluarga yang taat adat. Sayangnya, cinta Zainuddin harus terhalang karena keluarga dan ketua adat tidak setuju Hayati menikah dengan Zainuddin yang dianggap tidak sederajat. Hayati pun menikah dengan kakak dari teman nya yang bernama Azis. Zainuddin yang patah hati merantau ke pulau Jawa dan menjadi seorang penulis yang terkenal di sana. Azis yang ditugaskan bekerja di pulau Jawa pun membawa Hayati dan tinggal di sana. Siapa sangka, ternyata Azis adalah seorang pemuda yang suka mabuk-mabukan, berjudi dan main perempuan, hingga akhirnya ia jatuh bangkrut dan di tolong oleh Zainuddin. Azis pun menitipkan Hayati pada Zainuddin lalu bunuh diri. Namun, Zainuddin yang pernah sakit hati oleh Hayati tak mau menerima Hayati dan memulangkannya ke Padang. Kapal Van der Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam, Hayati pun meninggal setelah dibawa ke rumah sakit. Setelah kepergian Hayati, Zainuddin selalu bersedih dan meninggal dunia menyusul kekasihnya. ü Nilai Moral Nilai moral yang terdapat dalam novel ini adalah pentingnya kebiasaan untuk memaafkan. Hal ini terlihat dari penyesalan Zainuddin setelah Hayati meninggal. Andai Zainuddin memaafkan Hayati dan menerimanya, maka mereka akan hidup bahagia. ü Nilai Sosial Nilai Sosial terlihat dari kebaikan ibu Muluk yang mau menampung dan membantu Zainuddin saat ia terpuruk, juga pada saat Zainuddin membantu Azis dan Hayati yang jatuh bangkrut. ü Nilai adat Istiadat Nilai adat sangat terlihat dari kehidupan penduduk zaman dulu di kota Padang yang sangat patuh pada tradisi. Contoh nya saat Zainuddin ingin menikahi Hayati, para ketua adat tidak menerimanya karena Zainuddin dianggap tidak sesuku dengan mereka. ü Nilai Agama Zainuddin adalah seorang yang taat beribadah, ia bahkan tak suka melihat Hayati yang memakai pakaian terbuka saat bertemu dengannya di Padang Panjang. Nilai-nilai dalam novel Tenggelamnya kapal Van Der Wijck dapat dijadikan sebagai pelajaran dalam menjalani kehidupan. Seperti nilai moral yang mengajarkan kita untuk saling memaafkan, nilai sosial untuk saling membantu, nilai adat agar kita selalu menjadi orang yang memiliki adat istiadat dan nilai agama yang mengajarkan kita untuk senantiasa taat kepada Tuhan yang Maha Esa. Novel ini memberi banyak pelajaran dan amanat bagi pembacanya. Diantaranya, jangan menilai segala sesuatu dengan materi karena materi tidak menjanjikan kebahagiaan, seperti saat Hayati menikahi Azis yang berasal dari keluarga kaya, ia tak merasa bahagia karena Azis ternyata seorang pemuda yang tak bertanggung jawab. Di dalam usia 31 tahun 1938, masa darah muda masih cepat aliranya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, di waktu itulah "ilham" "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" ini mulai ku susun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang ku pimpin "Pedoman Masyarakat." Setelah itu dia diterbitkan menjadi buku oleh saudara M. Syarkawi cetakan kedua seorang pemuda yang giat menerbitkan buku-buku yang berharga. Belum berapa lam tersiar, dia pun habis. Banyak pemuda yang berkata "Seakan-akan tuan menceriteraka nasibku sendiri." Ada pula yang berkata "Barangkali tuan sendiri yang tuan ceriterakan!" Sesungguhnya bagi seorang golongan agama, mengarang sebuah buku roman, adalah menyalahi kebiasaan yang umum dan lazim pada waktu itu. Dari kalangan agama pada mulanya, saya mendapat tantangan keras. Tetapi setelah 10 tahun berlalu, dengan sendirinya heninglah serangan dan tantangan itu, dan kian lama kian mengertilah orang apa perlunya kesenian dan keindahan dalam hidup manusia. 1. Tema Percintaan dan Persahabatan 2. Penokohan dan Watak Zainuddin Baik Hati, Tulus, Taat beribadah, sedikit pendendam. Hayati cantik, Lemah lembut, Mudah dipengaruhi. Azis Kasar, tidak bertanggung jawab, mudah putus asa. Muluk Baik hati, setia kawan, humoris. Mak Base Keibuan, Baik hati, Penyayang, tanpa pamrih. Khadijah Modern, centil, suka mempengaruhi. Mamak Datuk Tegas, berkuasa, taat pada tradisi. Mande Jamillah Baik hati, sollehah, suka menolong. Pendekar Sutan Baik hati, bertanggung jawab. 3. Latar Tempat Makasar, Padang Panjang, rumah Khadijah, Pacuan kuda, Di atas kapal, Area pesawahan, pasar, Jawa, rumah Khadijah, rumah sakit. Waktu pagi, siang hari, Subuh, sore, Malam. Suasana Bahagia, Sedih, tegang, romantis. 4. Alur/plot Alur yang di gunakan dalam novel ini adalah alur campuran antara alur maju da alur mundur. Alur Maju menceritakan kisah hidup Zainuddin dan kisah cintanya pada Hayati hingga ia meninggal, sedangkan alur mundur terlihat saat Zainuddin menceritakan kisah ayahnya saat masih tinggal di Kota Padang. 5. Sudut pandang Sudut pandang menggunakan sudut pandang orang ketiga seba tahu. Penulis menceritakan setiap tokohnya dari luar cerita dan mengetahui situasi dan kondisi serta detai setiap bagian. 6. Amanat Jangan mudah berputus asa jika mengalami kesulitan dalam hidup. Tokoh Zainuddin yang awalnya hampir gila karena ditinggal Hayati akhirnya menjadi seorang penulis yang sukses karena mampu bangkit dari keterpurukan. Lalu saling tolong menolong sesama manusia, contohnya kebaikan Muluk dan Ibunya yang mau membantu Zainuddin saat ia terpuruk. 7. Gaya bahasa Bahasa yang digunakan dalam novel ini adalah gaya bahasa Indonesia zaman dulu dan masih kental dengan bahasa melayu, terdapat banyak perumpamaan dan majas serta syair yang menjadi ciri khas sastra melayu. Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Meskipun Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diterbitkan tahun 1939, tapi situasi yang diceritakan masih relevan dengan zaman sekarang. Contohnya Zainuddin yang ditinggal menikah oleh kekasih hatinya, kisah seperti ini bisa kita temukan di kehidupan nyata. Lalu kisah Zainuddin yang menjadi sukses setelah bangkit dari keterpurukan juga banyak kita temui dari kisah tokon-tokoh terkenal pada zaman sekarang. Namun kondisi masyarakat dalam novel ini cukup berbeda dengan kondisi masyarakat zaman sekarang. Kondisi masyarakat yang diceritkan dalam novel ini masih sangat taat akan tradisi sedangkan masyarakat zaman sekarang sudah lebih modern dan lebih terbuka pada hal-hal baru. a Kalimat Simpleks Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya. Di waktu senja demikian kota Mengkasar kelihatan hidup. Dia dinamai ayahnya Zainuddin. Darah muda masih mengalir dalam badannya. Dari pembuangan Cilacap dia dibawa orang ke tanah Bugis. b Kalimat Kompleks Orang serumah itu ribut, pekik yang perempuan lebih-lebih lagi. Ketika Landraad bersidang di Padang Panjang, Pendekar Sutan mengaku terus terang atas kesalahannya, dia dibuang 15 tahun. Setelah dipotong 3 tahun, habislah hukuman dijalankannya seketika dia berada di Mengkasar. Kalau dia mau tentu dia akan dikirim ke Minangkabau, tanah tumpah darahnya. Meskipun hatinya amat ingin dan telah teragak hendak pulang, ditahannya, dilulurnya air matanya, biarlah negeri Padang "dihitamkan" buat selama-lamanya. c Kata Penghubung Kata penghubung/konjungsi yang terdapat dalam novel ini diantaranya Dan Ayahnya berkata, jika Mengkasar ada Gunung Lompo Batang dan Bawa Kara... Tetapi Ia tak tahu benar apakah isi lagu itu, tetapi rayuannya sangat melekat dalam hatinya. Sejak Sejak kecilnya telah dirundung oleh kemalangan'... Untuk mengetahui siapa dia... Ketika Ketika Landraad bersidang di Padang Panjang, Pandekar Sutan mengaku terus terang atas kesalahannya, dia dibuang 15 tahun d Kata Rujukan Sang Hilang kebesaran Sang Surya, maka dari balik puncak Lompo Batang yang antara ada dengan tidak itu terbitlah bulan 15 hari menerangi seluruh alam. Beliau Ia teringat pesan ayahnya tatkala beliau akan menutup mata, ia teringat itu, meskipun dia masih lupa-lupa ingat. Si "Pertama membaca Al-Qur-an tengah malam, kedua membuaikan si Udin dengan nyanyian negeri sendiri, negeri Padang yang ku cinta. Kekurangan Penggunaan bahasa yang masih kental dengan bahasa melayu sehingga tidak mudah dipahami. Banyak terdapat kata-kata yang tidak dimengerti. Akhir yang tragis dan tidak bahagia. Ada beberapa tokoh yang tidak diceritakan akhirnya. Latar waktu yang tidak terlalu jelas Kelebihan Sangat kental akan budaya yang mungkin hampir dilupakan. Menceritakan kisah yang masih segar di zamannya. Berisi motivasi untuk bangkir dari keterpurukan. Kisah yang sangat menarik dan mendidik. Mengandung banyak pembelajaran. BAB III Penutup Novel Tenggelamnya kapal Van Der Wijck merupakan novel karya sastrawan Indonesia pada zaman dulu yang kisahnya tak lekang dimakan waktu. Novel ini diterbitkan pada tahun 1939 dan Di tulis oleh seorang tokoh agama sehingga Banyak amanat dan pelajaran yang dapat dipetik dari novel ini. Walaupun merupakan novel terbitan zaman dulu, namun situasi dan ceritanya masih relevan dengan zaman sekarang. Kisahnya yang romantis, sedih, sekaligus menyentuh dapat membuat pembaca terhibur dan terbawa perasaan. Penulis menyarankan agar kita sebagai bangsa Indonesia lebih mencintai dan merasa bangga akan budaya Indonesia, terutama karya sastra. Jangan lupakan karya-karya satra lama karena sejatinya karya sastra klasik mengandung nilai-nilai luhur yang bisa kita pelajari dan kita terapkan bahkan hingga zaman sekarang. Membaca karya terjemahan memang perlu sebagai bekal untuk menambah pengetahuan, tapi jangan sampai kita enggan bahkan melupakan karya anak bangsa kita sendiri, Bangsa Indonesia. ABSTRAKNILAI-NILAI PROFETIK DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA Oleh Meilinda Alfianissa Salsabela Realitas mengindikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju yang ditandai adanya peradaban manusia yang telah mengalami pergeseran yang signifikan dalam berbagai bidang sosial, kebudayaan dan
TUGAS AKHIR MATA KULIAH KRITIK SASTRA “Pengertian Kritik Sastra, Kritik Objektif, dan Analisis Unsur Inrtinsik Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka” Oleh NAMA PAHRUDIN ARROZI NIM E1C 112 100 KELAS V/A PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM 2014 Pengertian Kritik Sastra, Kritik Objektif, dan Analisis Unsur Inrtinsik Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka 1. Pengertian Kritik Sastra Kritik sastra merupakan salah satu objek studi sastra cabang ilmu sastra yang sifatnya melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni. Kritik Sastra adalah analisa terhadap suatu karya sastra untuk mengamati atau menilai baik buruknya suatu karya secara objektif. Abrams Pradotokusumo, 2005 57 mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang fokus implementasinya berurusan dengan perihal perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian terhadap karya sastra. 2. Pengertian Kritik Objektif Kritik objektif adalah suatu kritik sastra yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah karya yang mandiri. Ia tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau dunia sekitarnnya. Ia harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri. Oleh sebab itu, kritik yang dilakukan atas suatu karya sastra merupakan suatu kajian intrinsic semata. Kritik objektif adalah kritik yang berorientasi atau memfokuskan perhatian kepada karya sastra itu sendiri. Kritik ini memandang karya sastra sebagai suatu objek yang mencukupi dirinya sendiri sebuah dunia yang mandiriotonom, maka dalam mengkritik karya sastra kritikus akan mendasarkan analisis, interpertasi, dan penilainya berdasarkan karya sastra itu sendiri, tanpa menghubungkan dengan realitas, pembaca, maupun pengarangnya. 3. Analisis Unsur Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka 1 Tema Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka ini bertema tentang kasih tak sampai. Sangat kental dengan budaya Minang yang sangat patuh akan peraturan adat. Adapula penggalan ceritanya “…….apa yang dikerjakannya, padahal cinta adalah sebagai kemudi dari bahtera kehidupan. Sekarang kemudi itu dicabut, kemana dia hendak berlabuh, teroleng terhempas kian kemari, daratan tak nampak, pulau kelihatan. Demikianlah nasib anakmuda yang maksudnya tiada sampai 1986123. 2 Alur/plot Dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan alur maju mundur, karena menceritakan hal-hal yang sudah lampau atau masa lalu dan kembali lagi membahas hal yang nyata atau kembali ke cerita baru dan berlanjut. Ada lima tingkatan alur yakni PenyituasianTahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, memberikan informasi awal dan lain-lain. Berikut ini merupakan tahap awal dari roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka yang berkaitan dengan tahap penyituasaian. “Di tepi pantai, di antara kampong Bara dan kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Makasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang diri menghadapkan mukanya ke laut. Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam di lautan Makasar, rupanya pikiranya telah melayang jauh sekali, ke balik yang tak tampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal 198610. Konflik Tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Kejadian dan konflik yang dialami tokoh Hayati dan Zainuddin dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka bisa dilihat dari penggalan cerita berikut ini “Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan jujur diantara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarkan dalam dudun kecil itu. Di dusen belumlah orang dapat memendang kejadian ini dengan penyelidikan yang seksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah bahwa Hayati, kemenakan Dt……..telah ber “intaian” bermain mata, berkirim-kirim surat dengan anak orang Makasar itu. Gunjing, bisik dan desus perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaran dalam kalangan anak muda-muda yang duduk di pelatar lepau petang hari. Hingga akhirnya telah menjadi rahasia umum. Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi, kelak bila kelihatan Hayati mandi di sana, mereka pun berbisik dan mendaham, sambil melihat kepadanya dengan sudut muda yang masih belum kawin dalam kampung sangat naik mereka adalah perbuatan demikian merendahkan derajat mereka seakan -akan kampung tak terutama sekali yang dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Dt…yang dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat malu, melangkahi kepala ninik –mamak. 198657. Tahap Peningkatan Konflik Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Tahap peningkatan konflik dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka terjadi ketika Zainuddin dan Aziz sama-sama mengirimkan surat kepada orang tua Hayati, dari lamaran kedua pemuda itu, ternyata lamaran Aziz yang diterima karena orang tua Hayati mengetahui latar belakang pemuda yang kaya raya itu, sedangkan lamaran Zainudin ditolak karena orang tua Hayati tidak ingin anaknya bersuamikan orang miskin. Hal ini bisa terlihat dari penggalan cerita berikut ini ”Kalam dia tertolak lantaran dia tidak ber-uang maka ada tersedia uang yang dapat dipergunakan untuk menghadapi gelombang kehidupan sebagai seorang mahluk yang tawakkal.” 1986118 Klimaks Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Dalam Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, tahap klimaks terjadi ketika Aziz meminta supaya Zainuddin menikahi Hayati. Sekalipun dalam hati Zainuddin masih mencintai Hayati, Zainuddin menolak permintaan Aziz. Bahkan Zainuddin memulamgkan Hayati ke kampung halamannya dengan menggunakan Kapal Van Der Wijck. Hal ini bisa dilihat pada pernyataan berikut “Bila terjadi akan itu, terus dia berkata “Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri Minangkabau beradat !.....Besok hari senin, ada Kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”. 1986198 Penyelesaian Tahap penyelasaian dalam Roman Tenggelamya Kapal Van Der Wijck karya Hamka ketika Zainuddin mendapat kabar bahwa Kapal yang ditumpangi Hayati tenggelam, sedangkan Hayati dirawat di Rumah Sakit Tuban. Dengan diterima Muluk sahabatnya Zainuddin menengok wanita yang sangat dicintainya itu. Rupanya pertemuan mereka itu adalah pertemuan yang terakhir karena Hayati menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan Zainuddin. Kejadian itu membuat Zainuddin merasakan penyesalan yang berkepanjangan hingga Zainuddin jatuh sakit dan meninggal dunia. Zainuddin dimakamkan di sebelah makam Hayati. Sudut pandang Pada roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal karena menyebutkan dan menceritakan secara langsung karakter pelakunya secara gamblang. Penggalan cerita pada roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka sebagai berikut “Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenagannya.”1986 26 Tokoh karakter utama yang ada dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka adalah tokoh Zainuddin, yang memiliki sopan santun dan kebaikan pada semua orang. Sedangkan yang lainnya yang menjadi tokoh protagonisnya adalah tokoh Hayati yang menjadi kekasih Zainuddin. Penggalan cerita yang menunjukkan Zainuddin adalah karakter yang baik adalah “Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli sya’ir, yang lebih suka mengalah untuk kepentingan orang lain”. 1986 27 Karakter pendukung minor karakter, antagonis sosok tokoh antagonis dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka adalah tokoh Aziz, karena tokoh Aziz di sini mempunyai sikap yang kasar dan sering menyakiti istrinya, dan tidak mempunyai tanggung jawab dalam keluarga dan selalu berbuat kejahatan karena sering main judi dan main perempuan. “…..ketika akan meninggalakan rumah itu masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati…..sial”. 1811986 Sedangkan yang menjadi karakter pelengkap adalah Muluk dan Mak Base karena keduanya adalah sosok yang bijak dan selalu berada di samping tokoh utama untuk memberi nasehat dan sangat setia menemani tokoh utama sampai akhir cerita.
antaranya yaitu Di Bawah Lindungan Ka’bah (1920) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938) yang tergolong novel lawas, namun sampai saat sambutan pembaca begitu antusias. Pada kedua novel ini. Hamka selain memunculkan tema cinta, namun juga memunculkan nilai-nilai islam. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKV) merupakan novel yang akhir-
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck is one of Indonesian movie which made by Sunil Soraya, and this movie was adapted from a novel that has the same title, it is opus of famous man of letters named Buya Hamka . This movie describes the life of a handsome man that decline of Minangkabau-Bugis. He has social and internal conflicts that were very tremendous and surprised, because this movie told about conflict between three actors that was amazing. Generally this movie is very interesting, but in the other side the story in this movie is sadden too, because the man always feels internal pressure. Also, this movie gives description concern with heart firmness of a man in struggles for his love and life for a girl which he loves.PenggunaanKata Bahasa Indonesia yang Berasal Dari Bahasa Arab dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : Analisis Klasifikasi Makna Leksikal; Pembacaan Bahasa Arab Al-Qur’an oleh Penutur Etnis Nias; Analisis Na’at pada Surah Al-Kahfi; Analisis Tata Cara Akikah pada Masyarakat Arab di Kota ABC (Kajian Antropolinguistik)
TenggelamnyaKapal Van der Wijck awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam salah satu majalah Islam pada tahun 1938. Cerita bersambung itu mendapatkan sambutan hangat yang diberikan oleh pembaca setianya, sehingga akhirnya diterbitkanlah dalam bentuk novel. Novel ini menceritakan romansa berlatar budaya lokal antara Zainuddin dan Hayati.Abstrak Seiring dengan menguatnya ideologi nasionalis-sekuler pascakemerdekaan, muncullah konsep nasionalisme berdasarkan sejumlah sumber yang bertolak belakang satu sama lain. Itulah nasionalisme eklektik ala Soekarno yang menerapkan analisis Marxis tentang penindasan imperialisme dan pada saat yang sama, menggunakan sikap permusuhan kaum Muslimin terhadap penjajah kafir. Ia menggelindingkan konsep Nasakom untuk menyimbolkan kesatuan nasionalisme, agama dan komunisme. Dalam konteks ini, penulis melihat permasalahan kompleks ideologi Nasakom sehingga banyak tokoh, ulama dan ilmuwan Muslim yang mengambil jarak dengan tokoh nomor wahid di Indonesia saat itu, seperti Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta dan Hamka. Tokoh yang disebut belakangan, yakni Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah Hamka inilah yang menjadi perhatian penulis terkait konsep nasionalisme yang diusungnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi pemikiran nasionalisme-religius Hamka dalam karya-karya sastranya, seperti Si Sabariah, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli. Data-data yang diperoleh dari novel-novel di atas dianalisis melalui teori hermeneutika, suatu pendekatan ilmiah yang menghubungkan antara pembaca qari dengan teks al-Maqru'. [Along with the strengthening of secular-nationalist ideology post-independence,
Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Pengarang : Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) Penerbit : Bulan Bintang Genre : Novel Kota Terbit : Jakarta Tahun Terbit : 2009 Cetakan : ke-32, Mei 2009 Novel ini sangat kental sekali dengan latar belakang sejarah pengarang sendiri. Dalam penjelasan Kuntowijoyo mengenai novel sejarah, Hamka
Sinopsis"Burung-Burung Manyar". Perjalanan hidup Teto yang penuh dengan liku-liku, sejarah, serta peristiwa penting yang mengiringi kehidupan Teto menjadi pusat dalam novel ini. Teto diceritakan sebagai seorang anak tunggal dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Akan tetapi, akibat kedatangan Jepang ke Indonesia, kenyamanan kehidupan
SINOPSIS NOVEL “TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK” Judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Tahun 1976 Karya HAMKA Haji Abdul Malik Karim Amrullah Penerbit Bulan Bintang, Jakarta I. Tokoh Utama 1. Zainuddin 2. Hayati 3. Khadijah 4. Aziz suami hayati II. Tokoh Pembantu 1. Datuk Mantari labih paman pandekar sutan 2. Pandekar Sutan ayahanda zainuddin 3. Daeng Habibah ibunda zainuddin 4. Mak Base ibu angkat zainuddin 5. Muluk sahabat zainuddin 6. Mak tengah lima ibunda hayati Ringkasan Cerita Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah hidup seorang pemuda yang bernama Zainuddin. Saat ia termenung, ia teringat pesan ayahnya ketika akan meninggal. Ayahnya mengatakan bahwa negeri aslinya bukanlah Makassar. Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto Padang panjang 30 tahun lampau, seorang pemuda bergelar Pendekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, yang merupakan pewaris tunggal harta peninggalan ibunya. Karena tak bersaudara perempuan, maka harta bendanya diurus oleh ibunya. Datuk Mantari labih hanya bisa menghabiskan harta tersebut, sedangkan untuk kemenakannya tak boleh menggunakannya. Hingga suatu hari, ketika Pendekar Sutan ingin menikah namun tak diizinkan menggunakan hartanya tersebut, terjadilah pertengkaran yang membuat Datuk Mantari labih menemui ajalnya. Pendekar Sutan ditangkap, saat itu ia baru berusia 15 tahun. Ia dibuang ke Cilacap, kemudian dibawa ke Tanah Bugis. Karena Perang Bone, akhirnya ia sampai di Tanah Makassar. Beberapa tahun berjalan, Pendekar Sutan bebas dan menikah dengan Daeng Habibah, putri seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Empat tahun kemudian, lahirlah Zainuddin. Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian ayahnya menyusul ibunya. Ia diasuh Mak Base. Pada suatu hari, Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi. Sampai di Padang Panjang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampai di sanan, ia begitu gembira, namun lama-lama kabahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harpakan. Ia masih dianggap orang asing, dianggap orang Bugis, orang Makassar. Betapa malang dirinya, karena di negeri ibunya ia juga dianggap orang asing, orang Padang. Ia pun jenuh hidup di padang, dan saat itulah ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah, menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari surat-menyurat, mereka pun menjadi semakin dekat dan kahirnya saling cinta. Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan gunjingan semua orang Minang. Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal itu menjadi aib bagi keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati, dengan alasan demi kemaslahatan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh. Zainuddin pindah ke Padang Panjang dengan berat hati. Hayati dan Zainuddin berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat. Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang. Ia menginap di rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz, kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati. Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Hal itu bersamaan pula dengan datangnyarombongan dari pihak Aziz yang juga hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih beradab. Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut. Apalagi kata sahabatnya, Muluk, Aziz adalah seorang yang bejat moralnya. Hayati juga merasakan kegetiran. Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya. Setelah pernikahan Hayati, Zainuddin jatuh sakit. Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal masyarakat dengan nama letter “Z”. Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, dan ia pun akhirnya menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang dermawan. Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Semakin lama watak asli Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari kontrakan, dan secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin. Mereka singgah di rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz. Yang pertama berisi surat perceraian untuk Hayati, yang kedua berisi surat permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya. Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih merasa sakit hati, Zainuddin menyuruh Hayat pulang ke kampung halamannya saja. Esok harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck. Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertulis “aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau.” Maka segeralah ia hendak menyusul Hayati ke Jakarta. Saat sedang bersiap-siap, tersiar kabar bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika Zainuddin langsung syok, dan langsung pergi ke Tuban bersama Muluk untuk mencari Hayati. Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang terbarIng lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin. Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur bersebaelahan dengan pusara Hayati. RIWAYAT HIDUP HAMKA Haji Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di Molek, Meninjau, Sumatra Barat, Indonesia pada tanggal 17 Februari 1908. Ayah beliau bernama Syeh Abdul Karim bin Amrullah Haji Rasul. Ketika Hamka berumur 10 tahun ayahnya membangun Thawalib Sumatra di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar tentang ilmu agama dan bahasa Arab. Di samping belajar ilmu agama pada ayahnya, Hamka juga belajar pada beberapa ahli Islam yang terkenal seperti Syeh Ibrahim Musa, Syeh Ahmad Rasyid, Sutan Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo. Pada tahun 1927 Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tinggi Medan dan Padang Panjang tahun 1929. tahun 1957-1958 Hamka sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhamadiyah Padang Panjang. Hamka tertarik pada beberapa ilmu pengetahuan seperti sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Tahun 1929 beliau membangun “Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah” dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatra Barat dan Pada 26 juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia. Hamka sudah menulis beberapa buku seperti Tafsir Al-Azhar 5 jilid dan novel seperti; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Di dalam Lembah Kehidupan dan sebagainya. Hamka memperoleh Doctor Honoris Causa dari Universitas Al- Azhar 1958, Doctor Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia 1974 dan pada 24 juli 1981 Hamka meninggal dunia. BUDAYA MATRILINEAL MASYARAKAT MINANGKABAU Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem kata lain seorang anak di minangkabau akan mengikuti suku ibunya. Segala sesuatunya diatur menurut garis keturunan ada sanksi hukum yang jelas mengenai keberadaan sistem matrilineal ini, artinya tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun demikian, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak. Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian maupun pembagian harta pusaka. Perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Di dalam kaumnya seorang laki-laki berawal sebagai kemenakan. Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya. Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya. Dalam kaitan ini, peranan surau menjadi penting, karena surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut. Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok a. Kemenakan di bawah daguak Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya b. Kemenakan di bawah pusek Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada punah. c. Kemenakan di bawah lutuik Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum. Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum. Dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya. Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah maksudnya harta pusaka kaum, jangan mengurangi maksudnya, menjual,menggadai atau menjadikan milik sendiri. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya Tagak badunsanak mamaga dunsanak Tagak basuku mamaga suku Tagak ba kampuang mamaga kampuang Tagak ba nagari mamaga nagari Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak. Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando semenda. Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori; a. Sumando ninik mamak Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan ini yang sangat dituntut pada peran setiap sumando di minangkabau b. Sumando kacang miang Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak seperti ini tidak boleh dipakai. c. Sumando lapik buruk Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. ANALISIS SOSIOLOGIS REFLEKSI BUDAYA MATRILINEAL MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA TAHUN 1976 Beberapa kutipan penggalan novel menggambarkan nilai-nilai budaya matrilinear dalam suku Minangkabau. Bentuk-bentuk penerapan budaya matrilinear yang dipaparkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” meliputi silsilah keluarga, pengaturan ahli waris, pernikahan, dan hubungan masyarakat. Dalam silsilah keluarga, seorang anak tidak dianggap sebagai suku Minangkabau jika tidak dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Minangkabau. Bentuk penerapan nilai budaya matrilinear ini digambarkan oleh HAMKA melalui tokoh Zainuddin. Walaupun ayah Zainuddin adalah suku Minangkabau, tetapi Zainuddin tetap dianggap orang asing karena dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Bugis-Makassar. Zainuddin yang meninggalkan tanah kelahirannya di Makassar, pergi ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya yang masih hidup. Bukan tidak bertemu, tetapi pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya tidak seperti yang dibayangkan oleh Zainuddin. Zainuddin melihat betapa jauh perbedaan budaya antara Bugis-Makassar dengan Minangkabau. Berbeda dengan suku lain di Indonesia, suku Minangkabau adalah satu-satunya suku yang menganut budaya matrilinear. Dalam budaya matrilinear, seorang anak tidak berhak atas harta ayahnya. Jika ayahnya meninggalkan harta setelah wafat, harta tersebut harus beralih tangan ke saudaranya. Hal ini pulalah yang dialami oleh Zainuddin dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Zainuddin bermaksud tinggal di negeri Padang karena merasa memiliki hak atas harta ayahnya, ternyata harus menerima kenyataan yang berbeda. Zainuddin sama sekali tidak mendapatkan harta tersebut. Dalam hal pernikahan, suku Minangkabau sangat menghargai kaum perempuan. Untuk memutuskan hal ikhwal pernikahan, perempuan juga dimintai pendapatnya. Hal ini dapat dilihat dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Dalam novel ini, kaum laki-laki meminta pendapat kaum perempuan ketika membicarakan rencana pernikahan Hayati dengan Azis. Tidak hanya seputar urusan keluarga. Nilai-nilai budaya matrilinear diterapkan juga dalam hubungan masyarakat. Orang-orang Minangkabau memandang sebelah mata terhadap suku lain. Suku Minangkabau menerima suku lain bergaul dalam kehidupan bermasyarakat, namun mereka sering membatasi hubungan tersebut. Penggambaran ini diungkapkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Zainuddin yang dianggap sebagai orang Bugis-Makassar terkadang dikucilkan dalam pergaulan masyarakat. Dalam novel yang ditulisnya ini, kita dapat melihat gambaran bahwa sebenarnya sang pengarang ingin mengkritik adat budayanya sendiri. Hal ini banyak kita dapatkan dari ungkapan dan kata kata si tokoh utama. Sebagaimana karya karya sastra lainnya, novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang terkandung dalam setiap nilai dalam bagiannya masing masing. Dalam karya ini terlihat kekuatan-kekuatan seorang pengarang yang ingin mengembangkan sesuatu yang biasa terjadi pada masyarakat. Sikapnya yang ingin mengolah ceritanya dengan penuh kedalangan dan kesungguhannya dalam menilai kehidupan ini merupakan salah satu yang pantas dipelihara dan dikembangkan. Dalam petualangan hidup Zainuddin mencari jati diri, Zainuddin harus meninggalkan tanah kelahirannya, tanah Makassar, menuju Padang. Selama tinggal di tanah Makassar, Zainuddin merasa belum menemukan jatidiri yang sebenarnya. Orang-orang di sekelilingnya tidak menganggapnya sebagai orang Bugis-Makassar karena Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang berasal dari Padang dan bersuku Minangkabau. Suku Bugis-Makassar menganut garis keturunan patrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ayah. Dengan demikian, orang-orang di sekelilingnya menganggap Zainuddin sebagai orang Minangkabau. Kondisi inilah yang menyebabkan Zainuddin meninggalkan Makassar menuju Padang dengan tujuan mencari keluarga ayahnya. Usaha Zainuddin tidak sia-sia karena berhasil menemukan keluarga ayahnya. Namun lagi-lagi Zainuddin harus terbetuk pada persoalan budaya Minangkabau yang menganut garis keturunan matrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ibu. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel di bawah ini. Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli. Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang menurut orang di Minangkabau dinamai “anak pisang”. Maklumlah orang di sana masyhur di dalam menerima orang baru. Tetapi basa-basi itu lekas pula bosan. Oleh karena yang kandung tidak ada lagi, apalagi ayahnya tidak bersaudara perempuan, dia tinggal di rumah persukuan dekat dari ayahnya. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21 Pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya di tanah kelahiran leluhurnya ternyata tidak memenuhi keinginan Zainuddin untuk menemukan jatidirinya. Dia sama saja dengan orang asing di tanah kelahiran leluhurnya, karena adat dan budaya yang dianut oleh suku Minangkabau yang menyebabkan orang-orang di Padang menganggap Zainuddin bukanlah orang Minangkabau, melainkan orang Bugis-Makassar. Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan ke sebulan, kegembiraan itu hilang, sebab rupanya yang dikenang-kenangnya berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati Mak Base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda. Bukan orang tak suka padanya, suka juga, tapi berlainan kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau tulen dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang Bugis, orang Mengkasar. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21 Perjalanan Zainuddin untuk mencari jatidirinya benar-benar terbentur pada masalah adat dan budaya. Zainuddin dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Di satu sisi, Zainuddin ingin mendapat pengakuan sebagai bagian dari suatu suku, namun kenyataan yang dihadapi Zainuddin berbeda. Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang bersuku Minangkabau dan seorang ibu yang bersuku Bugis-Makassar. Peristiwa-peristiwa ini merupakan gambaran budaya matrilinear yang diangkat oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Hal lain yang menunjukkan budaya matrilinear dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” adalah ketika Zainuddin teringat pada pesan Mak Base sebelum Zainuddin berangkat ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya. Mak Base menyampaikan kepada Zainuddin bahwa suku Minangkabau berbeda dengan suku lain. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel berikut. Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau, tetapi pandangan orang kepadanya bkan pandangan sama rata, hanya da juga kurangnya. Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabaulain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diiambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang benar nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22 Kondisi yang dialami oleh Zainuddin tidak hanya menimpa dirinya, melainkan juga keturunannya kelak. Karena budaya matrilinear di negeri Padang, Zainuddin tidak boleh mewariskan gelar kepada keturunannya jika pun Zainuddin dipinjamkan gelar oleh keluarga ayahnya setelah menjalankan ritual-ritual yang telah ditentukan oleh adat. Persyaratan peminjaman gelar dalam budaya matrilinear digambarkan oleh HAMKA dalam novelnya. Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang padang, tak kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak bersuku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh diturunkan pula itu kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun mesti membayar hutang kepada negeri, sembelihkan kerbau dan sapi, panggil ninik mamak dan alim ulama, himbaukan dilabuh nan golong nan ramai. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22 Budaya matrilinear dalam suku Minangkabau menempatkan suku lain sebagai orang asing walaupun masih ada ikatan darah. Hal inilah yang dialami oleh Zainuddin selama tinggal di Padang. Kakek-neneknya tidak dapat menahan Zainuddin untuk tinggal bersamanya. Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minangkabau, dia akan bertemu dengan neneknya, ayah dari ayahnya. Di sanalah dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata, “Oh … rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar.” Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mufakat lebih dahulu dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pendekar Sutan, sudah jauh perhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari “Bugis” ini. Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesan-mesankan dia. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22-23 Kenyataan pahit harus dialami oleh Zainuddin ketika hubungan percintaannya diketahui oleh keluarga Hayati, kekasih hatinya. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena dianggap sebagai orang yang tidak bersuku. Tidak jelas asal-usulnya. “Zainuddin,” ujarnya, “telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua, telah melakukan perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya, bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasihat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang di panas dan belum lapuk di hujan, supaya engkau surut.” Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanyal. Lalu dia berkata, “Mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan keturunan?” “Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, dia bukan sembarang orang.” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 55 Peringatan yang diterima Zainuddin dari keluarga Hayati mengingatkannya pada rencananya mencari jatidiri. Zainuddin menyadari bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Ketika berada di Makassar, dia disebut-sebut sebagai orang Minangkabau. Namun jika dia berada di Padang, dia disebut-sebut sebagai orang Bugis-Makassar. Zainuddin tidak dipandang sah sebagai orang Minangkabau walaupun ayahnya berdarah Minangkabau karena budaya matrilinear yang dianut di daerah tersebut. …. Dia teringat dirinya, tak bersuku, rak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 56 Budaya matrilinear semakin menyudutkan Zainuddin dalam pergaulan dengan masyarakat. Tidak hanya sampai di situ. Zainuddin juga harus mengorbankan perasaan cintanya kepada Hayati. Pihak keluaga Hayati menganggap Zainuddin tidak pantas mendampingi Hayati karena bukan dari golongan mereka. Zainuddin bukanlah orang Minangkabau. “Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana Engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengammbil saja jadi istrinya.” “Mana bisa jadi, Gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan.” “Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?” “Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58 Budaya matrilinear telah turun-temurun diwariskan di Minangkabau. Hal inilah yang diungkapkan oleh HAMKA melalui dialog tokoh dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Dialog yang mempersoalkan jatidiri Zainuddin sangat jelas menggambarkan pandangan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau. “Kan ayahnya orang kita juga!” ujar seorang mamak yang agak muda. “Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya tidak ada Tidak ada perpatihnya, tidak ada ketemanggungannya. Kalau dia kita terima menjadi suami anak kemanakan kita, ke mana kemanakan kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit sekali soal ini.” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58 Budaya matrilinear lebih jelas dipaparkan oleh HAMKA melalui dialog antara Mulu, sahabat Zainuddin, dengan Hayati. Muluk mengingatkan kepada Hayati tentang peristiwa-peristiwa yang telah dilalui oleh Zainuddian terkait dengan hubungannya bersama Hayati yang dipisahkan oleh adat istiadat suku Minangkabau. “Tak ada ranggas di Tanjung, cumanak ampaian kain. Tak ada emas dikandung, dunsanak jadi rang lain.” Ibunya seorang Mengkasar, mati seketika dia masih perlu kepada bujukan ibu. Hidupnya besar dalam pangkuan orang lain. Ditempuhnya Tanah Minangkabau dengan cita-cita besar, cita-cita hendak menempuh tanah bapa, tanah tempat dia dibangsakan menurut adat istiadat dunia. Kiranya kedatangannya ke sana, dipandang orang laksana minyak dengan air saja, dia tetap dipandang orang Mengkasar, sebagaimana di Mengkasar dia tetap dipandang orang Padang.” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 187 Rangkaian peristiwa yang membentuk alur cerita dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA sangat kompleks dalam menggambarkan budaya matrilinear yang dianut oleh suku Minangkabau. Dalam novel ini diuraikan secara konkret nilai-nilai budaya matrilinear yang memebedakan suku Minangkabau dengan suku-suku lain, utamanya yang ada di Indonesia. Pengarang hanya menggunakan peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck sebagai latar dalam cerita. Sorotan utamanya bukan pada persoalan kapal tersebut, melainkan pada persoalan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau yang menyebabkan Zainuddin dan Hayati harus berpisah arah dan mengambil jalan masing-masingPenelitianini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena tindak tutur pada jenis ilokusi dalam novel karangan Buya Hamka bertajuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tahun 2013 terbitan Balai Pustaka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis dengan mengklasifikasikan dialog-dialog dalam novel yang berkait dengan